Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan dijadikan rujukan studi adalah Baedhowi (Universitas Indoensia), Hasim As’hari (Universitas Padjadjaran), Corneles Sagrim (Universitas Padjadjaran), I Gusti Ngurah Suweta (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), dan Yudhi Wijayanto (Universitas Indonesia). Deskripsi hasil penelitian tersebut adalah berikut : Baedhowi, 2004, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Bidang Pendidikan – Studi Kasus di Kabupaten Kendal dan Kota Surakarta. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Administrasi, Program Pasacasarjana Universitas Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam tentang “implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota”. Cakupan penelitian ini meliputi faktor Translation ability para pelaku kebijakan, termasuk kapasitas sumberdaya manusia dan pemahamannya terhadap kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston (2002). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji prospek implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan wilayah penelitian ini adalah kabupaten Kendal dan kota Surakarta. Berdasarkan karakteristik tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif/ naturalistik, karena peneliti menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus yang alamiah. Dengan menggunakan metode kualitatif, maka informasi yang didapat lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya. Dengan metode kualitatif, dapat pula ditemukan informasi yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental, dan budaya yang dianut dari seseorang maupun kelompok orang. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara obyektif oleh analisis kebutuhan (need analysis) dalam pemecahan masalah publik, tetapi lebih ditentukan oleh interest para aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cenderung berakibat pada kurang relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik, aktor utama Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD, jauh lebih dominan dan saling mempengaruhi dalam penetapan kebijakan, publik belum dilibatkan dan diberdayakan, serta belum dimobilisasi secara signifikan. Kedua, Kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dipandang dari konsep “translation ability” belum cukup efektif dalam pengelolaan pelayanan pendidikan di daerah masing masing. Para pegawai Dinas Pendidikan memiliki rata-rata latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan latar belakang pekerjaan yang cukup relevan, namun posisi tawar (bargaining position) dari Dinas Pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu Bupati/Walikota dan DPRD. Sebaliknya, aktor utama (Bupati/Walikota dan DPRD) yang memiliki posisi tawarlebih tinggi cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan latar belakang pekerjaan yang kurang relevan. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan hanya imbalance structure dalam proses interaksi antar-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna kebijakan di bidang pendidikan. Ketiga, Organisasi dan manajemen sebagai support system belum dapat memberikan fasilitas terhadap berjalannya implementasi kebijakan pendidikan kepada masyarakat. Aparatur Dinas Pendidikan sebagai pelaksana kebijakan cenderung lebih berfungsi sebagai sub-ordinasi dari aktor-aktor penentu kebijakan daripada sebagai mitra sejajar yang tugasnya melaksanakan berbagai inovasi dalam pelayanan pendidikan agar semakin berkualitas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara kebijakan publik, aparatur pendidikan cenderung kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (demand driven) tetapi lebih berorientasi secara politis pada kepentingan kepala pemerintahan. Perbedaan nomenklatur nama Dinas dan struktur organisasi menimbulkan kesulitan dalam koordinasi antar kabupaten/kota, dengan pemerintah propinsi, serta pemerintah pusat, terutama dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas institusi. Keempat, Penyediaan anggaran untuk implementasi kebijakan pendidikan dan jenis-jenis programnya bervariasi antara kedua daerah otonom tersebut. Pemerintah Kendai mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar dibanding anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Surakarta. Jika dilihat pemanfaatannya, masih cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk program-program fisik. Temuan ini sejalan dengan temuan Paqueo dan Lammert menemukan indikator yang menunjukkan adanya kecenderungan para politisi lokal (penentuan kebijakan) menggunakan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan fisik, dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek. Kelima, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi implementasi kebijakan pendidikan baik di kabupaten Kendal maupun kota Surakarta secara minimal terpenuhi, tetapi tidak didukung dengan biaya perawatan yang memadai. Penelitian ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan yang konsisten dan menarik di kedua daerah tersebut, bahwa pengajuan anggaran pengadaan sarana dan prasarana baru lebih mudah daripada pangajuan anggaran untuk perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana yang sudah ada. Keenam, Indonesia sebagai Negara yang memiliki cakupan wilayah yang luas, menerapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu pertimbangan mendasar adalah bahwa tidak mungkin pemerintah mengurus pemerintahan sendiri tanpa membagi kewenangan, dan sekaligus tanggung jawab dengan pemerintah daerah, juga dengan masyarakat sebagai pengguna kebijakan. Hasim As’ari, 2016, Implementasi Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi Kepulauan Riau, Program Studi Doktor Ilmu-Ilmu Sosial Konsentrasi Ilmu Pemerintahan, FISIP Universitas Padjadjaran – Bandung. Kesimpulan dari analisis hasil penelitian adalah berikut : Hasim As’ari menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau dapat diungkap dengan pendekatan analisis isi kebijakan dan pendekatan analisis konteks implementasi kebijakan menurut Model Implementasi Kebijakan Publik Gridle. Isi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan tercakup dalam Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Pengejawantahan isi kebijakan tersebut belum dapat menjamin koordinasi yang efektif, karena adanya permasalahan tumpang tindih tiga kebijakan yang tidak sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Tiga kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar; Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan; dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pemanfaatan Pulau Kecil Terluar. Dalam perspektif analisis isi kebijakan, pengelolaan pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau belum optimal, karena : (1) Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi (interests affected) implementasi kebijakan adalah kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan masing-masing instansi dan lembaga yang tidak selamanya mendukung capaian tujuan implementasi kebijakan; (2) Manfaat (type of benefits) pengelolaan pulau kecil terluar meliputi manfaat yang terkait dengan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat; dan sumber daya lingkungan, namun manfaat tersebut belum optimal untuk memperkuat pertahanan dan keamanan; kesejahteraan masyarakat; dan pelestarian sumber daya lingkungan di perbatasan; (3) Perubahan yang terjadi (extent of change envisioned) sebagai hasil implementasi kebijakan adalah perubahan dinamika kawasan yang timbul dari kegiatan peningkatan pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan sumber daya lingkungan, namun perubahan tersebut belum optimal untuk merepresentasikan kebijakan pemerintah dalam membangun Indonesia dari pinggiran; (4) Pengambilan keputusan (site of dicision making) terhadap setiap urusan yang tercakup dalam proses implementasi kebijakan terletak pada masing-masing sektor dan tingkatan, namun proses pengambilan keputusan tersebut cenderung menimbulkan permasalahan ego sektoral yang menyebabkan lemahnya koordinasi lintas sektoral; (5) Pelaksana program (program implementor) yang bekerja dalam proses implementasi kebijakan pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan dapat terdiri atas aparaur daerah dan aparatur pusat, namun pelaksanaan program terkendala oleh keterbatasan dukungan sumber daya; dan di balik sumber daya alam yang potensial untuk dikelola, terdapat kendala lokasi pulau kecil terluar; (6) Pada dasarnya komitmen sumber daya, terutama komitmen anggaran, sudah sesuai dengan aturan normatif dan kebijakan anggaran. Namun kapasitas alokasi anggaran pada umunya dianggap sangat terbatas. Konteks implementasi kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam perspektif analisis konteks implementasi kebijakan, pengelolaan pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau belum optimal, karena : (7) kekuasaan, kepentingan, dan strategi actor yang terlibat (power, interests, and strategies of actors involved) dalam pengelolaan pulau kecil terluar kurang terkoordinasi, dan pendelegasian kewenangan, kepentingan dan strategi dari BNPP kepada BPP belum mencakup seluruh urusan pemerintahan tersebut; (8) karakteristik rezim dan lembaga (institution and regime characteristic) pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan belum berkembang menjadi konsep ”membangun Indonesia dari pinggiran”; dan (9) Seberapa banyak hasil dan seberapa banyak manfaat yang dihasilkan melalui implementasi kebijakan merupakan cermin keberhasilan dalam menanggapi dan memenuhi aturan pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan. Hal ini tergantung pada tingkat kepatuhan dalam memenuhi aturan dan kebijakan tersebut. Hasim menunjukkan Konsep Baru yang diperoleh dari pembahasan implementasi kebijakan pengelolaan pulau kecil terluar di Provinsi Kepulauan Riau adalah Konsep Baru tentang Restruktrisasi Pengelolaan Perbatasan, dengan definisi : Restrukturisasi pengelolaan perbatasan adalah penataan kembali organisasi dan kinerja pengelolaan perbatasan yang meliputi kewenangan, struktur, personalia dan manajemen sumber daya yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengendalian, pelaporan dan evaluasi yang terintegrasi dan terkoordinasi sebagai satu kesatuan kapasitas kelembagaan dan kinerja lembaga yang berada dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden dalam rangka membangun Indonesia dari pinggiran. Corneles Sagrim, Disertasi, 2013, Implementasi Kebijakan Lingkungan Hidup di Provinsi Papua, FISIP Universitas Padjadjaran – Bandung. Pokok pokok hasil penelitian adalah berikut : Kesimpulan yang didapat dari pembahasan hasil penelitian adalah bahwa faktor-faktor yang menyebabkan implementasi kebijakan lingkungan hidup belum efektif adalah kebijakan standar dan tujuan; sumber daya kebijakan; kegiatan penegakkan komunikasi antar organisasi; karakteristik lembaga implementasi; kondisi ekonomi, sosial dan politik; dan disposisi implementor. Dari temuan penelitian yang menunjukkan bahwa kelemahan yang paling menonjol dalam proses implementasi kebijakan lingkungan hidup di Provinsi Papua terletak pada masalah keterbatasan sumber daya kebijakan. Sumber daya kebijakan yang dimaksud meliputi sumber daya aparatur, sumber daya anggaran, sumber daya sarana dan prasarana untuk melaksanakan berbagai program dan kegiatan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Keterbatasan sumber daya yang paling menonjol di antara sumber daya kebijakan tersebut adalah keterbatasan sumber daya aparatur. Dengan keterbatasan sumber daya tersebut, implementasi kebijakan lingkungan hidup di Provinsi Papua belum efektif dalam menyikapi, mengatasi dan mengantisipasi permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Provinsi Papua, yaitu semakin berkurangnya cadangan sumber daya alam yang dimiliki baik dari segi kuantitas maupun kualitas, eksploitasi hutan yang tidak terkendali serta tidak adanya dukungan kebijakan regulasi yang semakin memperparah kondisi alam di Provinsi Papua. Adapun masalah pokok yang dihadapi yaitu tingginya tingkat pencemaran lingkungan; tingginya tingkat perusakan lingkungan; dan maraknya pencurian flora dan fauna yang dilindungi.
-
Kesimpulan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI cukup optimal untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegera, terutama untuk meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan di seluruh sektor dan tingkatan. Pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Hal ini antara lain terungkap dari sejumlah produk legislasi yang lebih responsif terhadap permasalahan gender, semakin banyak perwakilan perempuan di parlemen, adanya dukungan anggaran yang disepakati Pemerintah dan DPR untuk setiap tahun anggaran, adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyusunan anggaran responsif gender oleh Menteri Keuangan, dan roadmap pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang disusun oleh Bappenas. Dengan pendekatan model implementasi kebijakan publik Grinddle terungkap kinerja kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI sebagai berikut : 1.1 Interests affected (pengaruh kepentingan): Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR tidak terbatas hanya pada kepentingan politik kaum perempuan saja. Karena pelaksanaan tugas dan fungsi DPR tercakup juga dalam penyelenggaraan suatu sistem manajemen pemerintahan, maka secara fungsional dan situasional faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengaurusutamaan gender dapat mencakup kepentingan-kepentingan sosial budaya, kepentingan sosial ekonomi dan kepentingan sosial politik yang berhubungan erat dengan kedudukan, peran dan kapasitas perempuan di berbagai sektor dan tingkatan. 1.2 Type of benefits (keragaman manfaat) : Keragaman manfaat kebijakan pengarusutamaan gender terbilang banyak dan dapat menyentuh seluruh pihak. Namun kesadaran kolektif akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender belum menjadi motivasi seluruh Anggota DPR dalam mengelola manfaat kebijakan pengarusutamaan gender. Karena peningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender merupakan upaya bersama yang terkait erat dengan kepentingan bersama seluruh anak bangsa, termasuk kepentingan seluruh Anggota DPR, maka ajakan untuk bersama-sama meningkatkan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sesuai dengan kedudukan, fungsi, potensi masing-masing layak diikuti. 1.3 Extent of change envisioned (derajat perubahan yang tergambar): Derajat perubahan yang tergambar dari implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR adalah berkurangnya kesenjangan diantara perempuan dan laki-laki dalam mengakses dan mengendalikan sumber daya, dalam berpartisipasi pembangunan, dalam pengambilan keputusan, dan dalam mendapatkan manfaat dari kebijakan dan program pembangunan. Idealnya, tercipta suatu keadilan gender yang menunjukkan tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap perempuan, tidak ada lagi pemberian label kepada seseorang atau kelompok perempuan yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah; tidak terjadi lagi tindak kekerasan terhadap perempuan; dan penilaian bahwa suatu peran yang dilakukan oleh perempuan lebih rendah dari yang dilakukan laki-laki. 1.4 Site of dicision making (tempat pengambilan keputusan): Cukup banyak keputusan politik yang diambil oleh politisi perempuan di parlemen. Keputusan politik yang terutama diambil para politisi perempuan di Komisi VIII bertujuan mendukung pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan peningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dengan demikian peran politisi perempuan dalam proses implementasi kebijakan pengarusutamaan gender melalui pelaksanan tugas dan fungsi DPR sudah berada pada posisi pengambilan keputusan politik. Keputusan politik tersebut turut menentukan arah kebijakan dan upaya penguatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan yang diperlukan untuk mendukung terwujudnya kesetaran dan keadilan gender. 1.5 Program implementers (pelaksana program): Cukup banyak program pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Program pembangunan nasional yang khusus terfokus pada upaya pemberdayaan perempuan dilaksanakan oleh Kementerian PPPA. Pelaksanaan tugas dan fungsi DPR dalam pelaksanaan program nasioal tersebut dilakukan oleh para Anggota dengan bersikap kritis dan korektif serta memberi dukungan kesepakatan alokasi anggaran terhadap setiap program pengarustamaan gender. Program yang dimaksud antara lain terungkap dari kinerja program pembangunan bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang ketenagakerjaan dan bidang hukum. Dalam konteks penyelenggaraan sistem manajemen pemerintahan, pelaksanaan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 secara fungsional jelas mengaitkan fungsi eksekutif dengan fungsi legislatif dalam satu kesatuan penyelenggaraan sistem manajemen pemerintahan. Sistem manajemen pemerintahan tersebut secata teknis dilakukan oleh anggota Komisi-Komisi DPR dan mitra kerjanya dengan menyusun dan menyepakati program dan alokasi anggaran untuk meningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan. 1.6 Resource commited (komitmen sumber daya) : Komitmen sumber daya untuk melaksanakan program pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender cukup optimal. Komitmen sumber daya yang dimaksud terungkap antara lain dari dukungan sumber daya anggaran yang disepakati Pemerintah dan DPR untuk setiap tahun anggaran serta adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis penyusunan anggaran responsif gender oleh Menteri Keuangan, dan roadmap pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional yang disusun Bappenas. 1.7 Power,interests, and strategies of actors involved (kekuasaan, kepentingan, strategi para pihak) : Kekuasaan, kepentingan dan strategi para pihak yang terlibat implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR cukup beragam dan sangat luas. Kekuasaan, kepentingan dan strategi para pihak teraktualisasi menurut kedudukan, peran dan tanggungjawab masing-masing pihak. Tercatat empat strategi pengarusutamaan gender untuk mengoptimalisasikan implementasi kebijakan pengarusutamaan gender, yaitu strategi personal, strategi kultural, strategi struktural dan strategi legalitas formal. 1.8 Institution and regime characteristic (karakteristik lembaga atau rezim) : Pada dasarnya karakteristik lembaga atau rezim yang berkuasa di setiap periode pemerintahan sama-sama menerbitkan kebijakan yang memandang penting kesetaraan dan keadilan gender; namun berbeda dalam hal intensitas dan fokus implementasi kebijakan tersebut. Di antara beberapa periode pemerintahan, terutama pemerintahan di era reformasi, Presiden Abdurachman Wahid tampak lebih menonjol dalam meunjukkan prioritas, intensitas dan fokus kebijakan pengarusutamaan gender. Hal ini terungkap dari Instruksi Presiden Abdurachman Wahid Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Salah satu pertimbangan penerbitan Inpres tersebut adalah bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dipandang perlu melakukan strategi pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan nasional. 1.9 Compliance and responsiveness (Pemenuhan dan cepat tanggap) : Upaya untuk memenuhi dan menanggapi berbagai aspirasi dan ekspektasi berbagai pihak terhadap kinerja peningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dilakukan oleh para pemangku kepentingan melalui pelaksanaan berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan nasional. Berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan nasional tersebut antara lain dilaksanakan melalui forum kemitraan Pemerintah dan DPR di berbagai jenjang pemerintahan. Dengan demikian proses implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR menjadi salah satu faktor pengungkit dan sekaligus menjadi pendorong upaya peningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan Indonesia untuk terwujudnya kesetaraan dan kedilan gender. Pengembangan konsep yang tersusun dari hasil pembahasan Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI adalah Pengembangan Konsep tentang Strategi Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional dengan definisi : Strategi Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional adalah siasat, kiat dan cara yang terstruktur dalam pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan peningkatan kedudukan, peran dan kualitas perempuan untuk terwujudnya kesataraan dan keadilan gender yang terdiri atas strategi legalitas formal, strategi sinergitas struktural, strategi adaptasi kultural, dan strategi penguatan individual. Dari definisi ini dikembangkan empat dimensi strategi : (1) Dimensi Strategi Legalitas Formal; (2) Dimensi Strategi Sinergitas Struktural; (3) Dimensi Strategi Adaptasi Kultural; dan (4) Strategi Penguatan Individual.