Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan proses untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan yang dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa, "Gubemur, bupati, walikota dipllih secara demokratis". Selanjutnya pelaksanaan Pasal18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 diatur dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Legitimasi kekuasaan diperlukan dalam menjalankan pemerintahan. Prihatmoko (2005: 101) mengemukakan bahwa: Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma yang berdimensi hukum, moral dan sosial. Secara konseptual, proses rekrutmen kepala daerah seperti halnya pejabat publik lain, di negara-negara demokrasi modem sangat memperhatikan basis legitimasi tersebut. Khususnya legitimasi yuridis dan legitimasi sosiologis. Setelah berkuasa, legitimasi etis menjadi sangat penting. Kualitas pemilihan kepala daerah dapat menentukan ptmpman yang terpilih. Pemilihan kepala daerah yang berkualitas apabila dilaksanakan secara adil, terbuka dan kompetitif akan menghasilkan pemerintahan yang bertanggung I jawab, akuntabel dan mandiri. Lakoff (1996: 177) menegaskan bahwa: Fair, frequent, and competitive elections are indispensable to the operation of representative government. The electoral process enables voters to hold the government of the day responsible for its stewardship. When all citizens have an equal voicein choosing accountable representatives in such elections, they can expert those they elect to office to be their agents, not their masters. Where democratics values prevail, only governments so established may properly claim to be legitimate. To improve the prospects that elections will produce coherent and accountable goverm11ents, independent, competitive, and well-organized political parties are necessary. Political parties are indispenseable because by nominating candidates for office, conducting election campaigns, and coordinating the work of government and opposition, they enable voters to chos.e representatives whose views they can readily identify and hold accountable for their conduct in office". Kualitas pemilihan kepala daerah ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah kepada masyarakat. Pengukuran kualitas pelayanan yang diberikan dalam rangka pelayanan publik berbeda dengan pengukuran 1..'Ualitas dibidang privat. Pelayanan pemerintahan lebih banyak bersifat membelanjakan uang dan tidak mendatangkan keuntu..'lgan dalam bentuk uang. Sedangkan, pelayanan dibidang privat berusaha untuk mendatangkan laba. Tolak ukur penilaian kualitas pelayanan pemerintahan bukan didasarkan pada kepuasan, tetapi diukur dari djmensi lain. Ndraha (2005: 85) menyatakan bahwa: 160 Dimensi-dimensi terhadap kualitas pelayanan di sektor privat atau bisnis tidak dapat digunakan begitu saja di sektor publik, lebih-lebih lagi disektor civil. Dalam kondisi "no choice" sektor publik, tolok ukur penilaian kualitas bukan kepuasan, tetapi, meliputi : 1) pengertian (understanding, versthehen); 2) penerimaan (legitimasi); 3) kepercayaan (yang bersumber dari pengetahuan bahwa pertanggungjawaban pemerintah atas pelayanannya jelas dan faktual : "saya tahu, maka saya percaya") konsumer. Berdasarkan pendapat tersebut, karena pemilihan kepala daerah merupakan pclayanan publik, maka tolak ukur penilaian yang digunakan dalam penelitian ini bukan dari dimensi atau sub variabel kepuasan sebagaimana digunakan pada sektor privat, tetapi menggunakan dimensi atau subvariabel, yang meliputi: 1) pengertian; 2) penerimaan; 3) kepercayaan; dan 4) tanggungjawab. Selain itu, pengukuran kualitas pelayanan pemerintahan, terutama pelayanan civil dapat menggunakan tolok ukur pengharapan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Ndraha (2005: 85) mengatakan bahwa : Penilaian terhadap kualitas pelayanan civil juga menggunakan metodologi penilaian kualitas pelayanan publik bahkan dikombinasikan dengan metodologi penilaian kualitas penilaian civil. Hanya saja, dalam kondisi "no price" pelayanan civil, tolok ukur penilaian kualitasnya bukan semata-mata tingkat kepercayaan konsumer tetapi lebih-lebih pada tingkat pengharapan manusia selaku korban dan mangsa ke depan. 161 Pemilihan kepala daerah langsung yang dimulai sejak bulan Juni Tahun 2005. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara umum proses pemilihan kepala daerah terdiri dari 3 tahap, yaitu; 1) persiapan; 2) pelaksanaan; 3) pengesahan dan pelantikan. Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan pemimpin dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pelayanan umum dan meningkatkan daya saing daerah. Suradinata (1997: 39) mengemukakan bahwa: Kepemimpinan merupakan inti proses pengendalian atau sering disebut inti dari manajemen. Melalui tingkah laku dalam tugas seorang pemimpin dapat diketahui cara mengendalikan proses kegi&tan, misalnya cara memberi tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukatmya, kapan hams melakukannya, apa yang harus dilakukan, rian siapa yang melaksanakannya. Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih akan memiliki kewenangan. baik secara atributif maupun secara delegatif. Kewenangan yang begitu besar pada kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung mendorong timbulnya potensi I korupsi. Lord Acton (1952) telah memberikan peringatan atau warning tentang kaitan antara kekuasaan dan korupsi dalam tesis yang sangat lugas, "Power tends to corrupt, absolute power corrupts absoluteiy". Dalam Penelitiannya diperoleh: 1. Kekuasaan mempunyai dua tabiat yang kontradiksi secara diametral satu sama lain. Disatu sisi kekuasaan mempunyai daya pesona yang luar biasa, tetapi sekaligus juga mempunyai kecenderungan merusak. Apalagi kalau kekuasaan itu absolut, pemegang kekuasaan pasti akan merusak tatanan kehidupan masyarakat. ! 2. Daya pikat kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang menghalalkan segala caracara. 3. Politik praktis tidak mengenal kawan atau lawan, sehingga begitu banyak I ' orang melakukan simplifikasi dengan menganggap bahwa dalam dunia politik praktis satu-satunya yang abadi adalah kepentingan, yang diidentikkan dengan kekuasaan. 4. Kompetensi etik dan moral dibalik peijuangan kekuasaan adalah agar politikus mampu melayani masyarakat warga sehingga kemungkinan untuk mencapai "bonum commune" itu diperbesar dan diperluas. Sedangkan Alatas (1986: 11) mengatakan bahwa; Teijadinya korupsi adalah apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang dengan maksud memengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan si pemberi. Korupsi juga dapat berupa perbuatan menawarkan pemberian hadiah lain yang dapat menggoda pejabat. Termasuk dalam pengertian korupsi adalah pemerasan, yaitu permintaan pemberian atau hadiah dalam pelaksanaan tugas pemerintahan. Istilah korupsi sering pula dikenakan kepada pejabat yang melakukan penggelapan terhadap dana publik, dimana mereka menggunakan dana publik yang mereka urus bagi kepentingan pribadinya. Pengangkatan sanak saudara atau ternan menjadi aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan, dan tidak memperhatikan konsekuensi pada kesejahteraan masyarakat, lazim disebut nepotisme . Selanjutnya Alatas (1986: 12) mengungkapkan bahwa, "Terdapat 3 (tiga) tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme (nepotism)". Sedangkan Danil (2011: 15) menyatakan bahwa, "korupsi mempunyai empat tipe utama, yaitu penyuapan 163 (btibery) dan pemerasan (extortion), penggelapan dan nepotisme". Oleh sebab itu, definisi hukum pidana suatu negara tentang korupsi yang tidak mencakupi keempat hal itu di dalamnya dapat dianggap sebagai sesuatu yang belum lengkap dan sempuma, sehingga perlu dimodifikasi. Menurut Jeremy Pope (2007: 6) mengatakan bahwa, "korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi". Istilah ini belum lama masih sepenuhnya tabu dalam kalangan profesi dan lingkungan politik. Sedangkan Brooks Atkinson (dalm Pope, 2007: 30) mengungkapkan bahwa: Birokrasi dirancang untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Tetapi setelah terbentuk, birokrasi mengembangkan kehidupan rohaninya sendiri dan memandang publjk sebagai musuh. Menurutnya, korupsi adalah penyalahgunaan I kekuasaan!kepercayaan untuk memenuhi prinsip "mempertahankan jarak", artinya dalam mengambil keputusan dibidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perseorangan di sektor swasta atau pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memajnkan peranan. Betapapun luasnya cakupan definisi hukum pidana tentang korupsi, temyata masih melewatkan beberapa hal yang biasanya hanya dianggap sebagai perbuatan tidak etis. Termasuk di antara perbuatan yang hanya dianggap sebagai perbuatan tidak etis itu adalah perbuatan yang sulit sekali disidik, dan lebih sulit lagi untuk dibuktikan sebagai korupsi di depan pengadilan. Nepotisme termasuk ke dalam kategori perbuatan yang cenderung terlewatkan dalam rumusan hukum pidana Indonesia selama ini. Padahal perilaku itu memperlihatkan potensi kriminogen yang cukup tinggi. Lagi pula perilaku nepotistik secara moral sangat dibenci dan dicela oleh masyarakat. Drui Uraian 164 diatas kerangka berpikir dalam penulisan Desertasi ini dapat digambarkan dibawah ini
-
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pemilihan kepala daerah langsung terhadap korupsi kepala daerah dengan menggunakan variabel kualitas pemilihan kepala daerah langsung (Xl), proses pemilihan kepala daerah langsung (X2) dan korupsi kepala daerah (Y), disimpulkan sebagai berikut: 1. Kualitas pemilihan kepala daerah langsung menunjukkan pengaruh yang signifikan tethadap korupsi kepala daerah. Pengaruh tersebut adalah pengaruh negatif. Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan semakin baik kualitas pemilihan kepala daerah langsung akan semakin rendah kompsi kepala daerah. Atau sebaliknya, semakin rendah kuaiitas pemilihan kepala daerah langsung akan semakin tinggi korupsi kepala daerah. Kuatnya kualitas pemilihan kepala daerah langsung didukung oleh subvariabel pengertian penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung terhadap berbagai keluhan masyarakat, penenmaan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung, tanggung jawab penyclenggara pemilihan kepala daerah dan harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Subvariabel tanggung jawab mempuyai kontribusi terbesar terhadap pengaruh kualitas pemilihan kepala daerah secara langsung. Kontribusi berikutnya, berturut-turut diberikan oleh subvariabel kepercayaan, subvariabel penerimaan dan subvariabel pengertian. Proses pemilihan kepala daerah langsung menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap korupsi kepala daerah. Pengaruh tersebut adalah pengaruh negatif. Dengan demikian, semakin baik proses pemilihan kepala daerah langsung akan semakin rendah korupsi kepala daerah. Atau sebaliknya, semakin buruk proses pemilihan kepala daerah langsung akan semakin tinggi korupsi kepala daerah. Kuatnya proses pemilihan kepala daerah langsung didukung oleh persiapan pemilihan kepala daerah langsung, pelaksanaan serta pengesahan dan pelantikan kepala daerah. Subvariabel pelaksanaan mempuyai kontribusi terbesar terhadap pengaruh proses pemilihan kepala daerah secara langsung. Kontribusi berikutnya, berturut-turut diberikan oleh subvariabel persiapan serta subvariabel pengesahan dan pelantikan. 3. Kualitas pemilihan kepala daerah dan proses pemilihan kepala daerah langsung secara bersama-sama menunjukkan pengaruh signifikan terhadap korupsi kepala daerah. Dengan demikian, semakin baik kualitas dan proses pemilihan kepala daerah langsung akan semakin rendah korupsi kepala daerah. Atau sebaliknya, semakin rendah kualitas dan semakin buruk proses pemilihan kepala daerah langsung akan semakin tinggi kompsi kepala daerah. Kontribusi terbesar pada variabel kompsi kepala daerah diberikan oleh subvariabel penyuapan, dan berikutnya disusul bertumt-tumt subvariabel pemerasan dan nepotisme. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa proses pemilihan kepala daerah langsung mempunyai pengamh yang lebih besar dibandingkan kualitas pemilihan kepala daerah langsung terhadap kompsi kepala daerah. Kualitas dan proses pemilihan kepala daerah terhadap kompsi kepala daerah mempunyai 377 pengaruh yang sangat besar, meskipun masih terdapat pengaruh faktor lain yang tidak diteliti pada penelitian ini.